Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit berbahaya yang banyak menyerang manusia. Bahkan, pilihan pengobatan untuk malaria bisa dikatakan sangat terbatas, terutama bagi warga yang tinggal di daerah pelosok, misalnya di Afrika.
Menurut data UNICEF, lebih dari satu juta orang meninggal dunia akibat malaria setiap tahunnya dan 90 persen dari kasus malaria terjadi di sub-Sahara, Afrika. Yang lebih memilukan lagi, sebagian besar dari mereka yang meninggal dunia akibat malaria adalah anak-anak berusia di bawah lima tahun. Karena malaria juga, ekonomi Afrika kehilangan hingga 12 miliar dolar AS tiap tahun.
Memang, di wilayah sub-Sahara Afrika, banyak kendala yang harus dihadapi ketika seseorang menderita penyakit malaria. Sebagian masyarakat di sini memiliki bujet terbatas untuk pengobatan dan transportasi, serta tidak memiliki akses yang mudah untuk mencapai rumah sakit. Akibatnya, ketika sudah sampai di rumah sakit, keadaan mereka sudah telanjur memburuk.
Untungnya, Asisten Profesor Kimia dan Biologi di Ohio State University bernama Abraham Badu-Tawiah kini sedang mengembangkan sebuah cara untuk mendeteksi malaria tanpa harus mengunjungi dokter. Dan, semua keperluan untuk mendeteksi penyakit mematikan itu hanya dilakukan di atas selembar kertas.
“Motivasi utama kami adalah mendeteksi secara dini apakah seorang pasien mengidap malaria atau tidak,” jelasnya. “Jika hanya pada tahap awal, Anda bisa benar-benar menggunakan waktu Anda dengan maksimal untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.”
Cara kerja kertas ini adalah pasien diminta meletakkan setetes darah mereka di atas kertas, kemudian kertas itu dilipat setengah menjadi sebuah gulungan, dan gulungan tersebut kemudian dikirim ke laboratorium untuk diperiksa. Setelah diuji, pasien akan mendapatkan hasilnya, apakah ia menderita malaria atau tidak.
Kertas itu sendiri menggunakan tinta lilin khusus yang menciptakan penghalang guna menjaga sampel. Selain itu, terdapat juga probe ion yang dapat menandai antibodi yang bertindak sebagai indikator dari penyakit tertentu. Probe ion ini juga tidak terpengaruh cahaya, suhu, maupun kelembapan udara serta dapat menjaga sampel tetap utuh selama 30 hari.
Di laboratorium, kertas tersebut dicelupkan ke dalam larutan amonia sehingga menghasilkan lapisan yang terpisah, lalu meletakkannya di depan spektrometer berukuran besar. Spektrometer sendiri merupakan perangkat yang dapat menemukan biomarker penyakit dan mengatakan apakah ada penyakit atau tidak.
Dalam Journal of American Chemical Society, Badu-Tawiah dan rekan-rekannya menyatakan bahwa mereka dapat menguji beberapa penyakit di mana tubuh manusia memproduksi antibodi. Ini termasuk kanker ovarium dan kanker usus besar. “Ini akan mencakup semua jenis kanker dan akhirnya kita maju dalam pengetahuan,” tambah Badu-Tawiah.
“Langkah kami selanjutnya adalah mengembangkan pendeteksian dari darah ke air liur, kemudian ke urine,” lanjutnya. “Kami benar-benar berharap bahwa penemuan ini akan membawa hasil dalam beberapa tahun ke depan.”