Meski iklan susu bertaburan di media massa dan elektronik, namun ternyata konsumsi susu justru menurun. Menurut The National Dairy Promotion and Research Program and the National Fluid Milk Processor Promotion Program, konsumsi susu di AS telah menurun sekitar 1 persen per tahun selama beberapa dekade ke belakang.
Ada beberapa alasan mengapa konsumsi susu (khususnya susu formula) di masyarakat cenderung menurun. Banyak masyarakat yang tidak toleran (alergi) terhadap laktosa, diet, kesadaran tentang kesehatan yang meningkat, hingga vegan. Selain itu, ahli kesehatan juga banyak yang tidak merekomendasikan susu karena mengandung kolesterol, lemak, kalorgi, dan kemungkinan link untuk rBGH (recombinant bovine growth hormone) atau hormon pertumbuhan sapi.
Seorang dokter bernama Benjamin Spock juga menganjurkan agar anak-anak setelah usia dua tahun tidak perlu diberi susu untuk mengurangi risiko penyakit jantung, obesitas, tekanan darah tinggi, diabetes, dan kanker. Variasi vitamin dan rasa yang ditambahkan pada susu juga diklaim dapat merusak citra sehat minuman tersebut.
Produsen sebelumnya telah melakukan berbagai cara untuk mendongkrak penjualan susu. Selama tahun 1980-an, ketika slogan “Milk: It Does a Body Good” masih booming, mereka juga mulai memasarkan susu yang diklaim mampu mempercepat pertumbuhan tulang yang kuat untuk mencegah osteoporosis.
“Salah satu dari lima korban osteoporosis adalah laki-laki,” kata iklan susu yang menampilkan model Tyra Banks. “Jangan khawatir. Kalsium dapat membantu mencegahnya.” Sementara, iklan lainnya berbunyi, “Ingin tulang kuat? Minum susu low-fat sekarang, dapat membantu mencegah osteoporosis nanti.”
Namun, para pakar kesehatan juga membantah klaim tulang sehat ini. Sebuah laporan dari ahli USDA pada tahun 2001 lalu mengatakan bahwa asupan kalsium melalui susu tidak mencegah osteoporosis karena olahraga dan nutrisi selain kalsium adalah bagian dari gambaran kesehatan tulang. Panelis juga mengatakan susu bisa meningkatkan risiko kanker prostat dan penyakit jantung dan iklan harus mencakup peringatan tersebut.
Para ahli lainnya, seperti T. Colin Campbell, penulis The China Study, dan ahli jantung Dean Ornish dari Preventive Medicine Research Institute, sepakat bahwa osteoporosis dan patah tulang tidak disebabkan oleh “kekurangan susu”. Bahkan, diet Barat, yang sering terlalu banyak mengonsumsi protein dan asam, disalahkan oleh beberapa peneliti dan ahli gizi untuk risiko osteoporosis dan patah tulang.
Tak berhenti di situ, produsen susu lantas meluncurkan gagasan susu sebagai makanan diet. “Studi menunjukkan bahwa nutrisi dalam susu dapat memainkan peran penting dalam penurunan berat badan. Jadi, jika Anda mencoba untuk menurunkan berat badan atau mempertahankan berat badan yang sehat, cobalah minum susu bebas lemak setiap 24 jam sebagai bagian diet,” kata sebuah iklan.
Tapi, segera setelah debutnya, sebuah studi menunjukkan 20.000 pria yang meningkatkan asupan susu rendah lemak ternyata tidak mengalami penurunan berat badan. "Hipotesis yang telah beredar adalah bahwa peningkatan asupan susu dapat menurunkan berat badan. Dan, dalam penelitian ini, saya tidak menemukan itu,” kata peneliti Swapnil Rajpathak, asisten profesor di Department of Epidemiology and Population Health, Albert Einstein College of Medicine.
Namun, produsen susu tampaknya telah belajar dari klaim osteoporosis yang dibantah, PMS, dan klaim penurunan berat badan dari kampanye masa lalu. Alih-alih “penelitian telah menunjukkan”, atau “penelitian telah mengungkapkan”, kampanye baru hanya mengatakan, “Kami percaya susu adalah bagian untuk memulai hari yang sukses”. Apakah konsumen akan percaya pada jargon baru ini?