Ehlers-Danlos Syndrome atau Sindrom Ehlers-Danlos (biasa disingkat EDS) mungkin merupakan istilah yang masih asing bagi Anda. EDS ini bisa dikatakan sebagai penyakit keturunan yang memengaruhi jaringan ikat di tubuh, terutama di kulit, persendian, dan dinding pembuluh darah. Penderitanya biasanya memiliki persendian yang terlalu fleksibel dan melar serta kulit yang rapuh.
Dalam suatu artikel yang dimuat di laman milik Harvard Medical School, Laura Kiesel berbagi pengalamannya tentang sindrom ini. Ia mengakui sering mengalami kecelakaan dan tiba-tiba kehilangan keseimbangan ketika berjalan menyusuri jalan setapak yang beraspal, seolah ada yang telah meletakkan kulit pisang di depannya. Di samping itu, ia juga pernah jatuh dari papan kayu ke rawa, selain tubuhnya juga sering memar.
Meski demikian, ia mengaku tidak pernah menghubungkan kecanggungan ini dengan bagaimana sendi dan tendonnya terasa rapuh dan pergelangan kaki yang bengkok dan terkilir. Dirinya sempat mengikuti kelas yoga untuk mengurangi gangguan ini, namun kecelakaan yang menimpanya tidak berkurang dan menjadi lebih rutin datang seiring berjalannya waktu.
“Beberapa tahun terakhir, tubuh saya terkepung oleh rasa sakit yang terus-menerus dan meluas. Secara khusus, sacrum dan pinggul saya seolah-olah telah diinfus dengan pecahan-pecahan kaca yang menempel di tubuh ketika saya berjalan dan mengusap jaringan lunak saya dengan terlalu banyak duduk,” kata Kiesel. “Hasil pencitraan menunjukkan adanya robekan labral besar di pinggul kiri, dan tulang belakang penuh dengan cakram yang rusak, serta kista bengkak dengan cairan tulang belakang.”
Dia melanjutkan bahwa terapis fisik selalu bertanya pada kecelakaan apa yang ia alami atau olahraga agresif mana yang saya ikuti. Tetapi, Kiesel hanya bisa mengangkat bahu dan mengatakan bahwa tidak ada alasan yang dapat dia pastikan, bahwa hidup hanya membawa dampak buruk pada saya, meski yang lebih berat tampaknya juga dialami oleh orang lain.
“Namun, ketika saya mengunjungi ahli genetika pada awal tahun lalu, dan setelah dilakukan evaluasi selama dua jam, saya didiagnosis memiliki Tipe III dari kelainan jaringan ikat langka yang dikenal dengan nama Ehlers-Danlos Syndrome atau EDS,” sambungnya. “EDS ini ditandai dengan sendi hypermobile dan defisiensi kolagen (jaringan ikat) yang mengakibatkan rasa sakit dan cedera berulang.”
Diagnosa ini, lanjut Kiesel, tidak hanya mengakibatkan kecanggungan yang ia alami dan sebagian besar kerusakan tubuh ia ‘kumpulkan’ selama bertahun-tahun, tetapi juga membantu menjelaskan beberapa migrain dan ruam yang sering terjadi pada kulitnya, masalah pada suhu tubuh, dan gangguan pada usus. “Di samping itu, juga menyebabkan masalah di kandung kemih,” lanjutnya.
“Sementara saya merasa lega karena diagnosisnya, saya juga sangat kesal,” imbuh Kiesel. “Ahli genetika mengatakan kepada saya bahwa sering membutuhkan waktu rata-rata 10 sampai 20 tahun untuk menerima diagnosis EDS, dengan banyak orang tidak menerima diagnosis yang akurat sampai usia 40-an.”
Seperti banyak kondisi medis lainnya, EDS secara tidak proporsional memengaruhi perempuan. Komunitas medik yang kurang terdidik mungkin menjelaskan keterlambatan dalam mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat, dan karena itu lebih cenderung salah mendiagnosis dan mengabaikan masalah kesehatan yang berdampak pada perempuan.
“Karena EDS bukan merupakan penyakit yang diketahui secara luas atau dikenal, harapan terbesar saya adalah bahwa pengalaman saya dapat menawarkan panduan kepada pasien lain,” katanya. “Saya juga ingin menyebarkan kesadaran di kalangan komunitas medis, tidak hanya tentang EDS, tetapi juga karena diagnosisnya tidak mudah terlihat, namun tidak berarti tidak ada satu pun.”