Memiliki bayi adalah salah satu saat paling bahagia dalam hidup, tetapi juga dapat menjadi salah satu yang paling menyedihkan. Bagi kebanyakan ibu baru, beberapa hari pertama setelah melahirkan bisa dikatakan sebagai fase ketika emosi layaknya seperti roller coaster. Saat-saat bahagia dan suka cita seketika bisa terganggu dengan kecemasan, yang terkadang diikuti dengan menangis, marah, dan sedih. Ini biasa disebut dengan “baby blues” yang biasanya mencapai puncaknya pada dua hingga lima hari usai melahirkan.
Meski demikian, untuk beberapa wanita, gejala depresi ini bisa terus berlanjut hingga dua minggu pertama atau malah beberapa bulan setelah memiliki bayi. Sebuah artikel yang ditulis Drs. Stewart dan Vigod yang dimuat dalam New England Journal of Medicine mengeksplorasi depresi postpartum ini berpotensi memengaruhi sekitar 6,5 persen hingga 12,9 persen dari ibu baru.
Hingga kini, memang belum diketahui dengan benar apa yang menyebabkan terjadinya depresi postpartum tersebut. Diperkirakan bahwa penurunan mendadak dalam kadar hormon setelah melahirkan dapat mengarah pada perkembangan depresi postpartum pada wanita yang rentan. Meski demikian, belum ada indikator yang pasti yang dapat mengatakan bahwa seorang wanita itu dalam kategori rentan atau tidak.
Prediksi terkuat yang menyebabkan depresi ini adalah riwayat pribadi dari gangguan mood atau kecemasan, terutama jika hadir dan tidak diobati selama kehamilan. Bahkan, wanita dengan riwayat depresi selama kehamilan, tujuh kali lebih mungkin mengalami depresi postpartum yang signifikan. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan depresi postpartum adalah stres sosial, termasuk kurangnya dukungan keluarga miskin dan faktor keuangan yang minim.
Karena depresi postpartum memengaruhi kesehatan wanita, bayi, dan seluruh keluarganya, sangat penting untuk menyaring risiko depresi postpartum. Kebanyakan dokter kandungan saat ini menerapkan beberapa jenis alat skrining selama pemeriksaan postpartum. Skrining sangat penting karena penelitian telah menunjukkan bahwa banyak wanita dengan depresi postpartum malu akan gejala yang mereka alami dan takut stigma sosial yang terkait dengan diagnosis.
Meskipun gejala depresi postpartum dapat bervariasi, namun gejala khas depresi ini meliputi:
- gangguan tidur,
- kegelisahan,
- sifat lekas marah,
- perasaan kewalahan, dan
- keasyikan dengan kesehatan atau makan bayi.
Mengobati Depresi Postpartum
Dalam artikelnya, Drs. Steward dan Vigod membahas pentingnya pengobatan dini dan dukungan bagi wanita yang berisiko mengalami depresi postpartum, termasuk orang-orang dengan gejala ringan yang tidak memenuhi kriteria spesifik untuk diagnosis formal depresi postpartum. Penelitian telah menunjukkan bahwa perawatan suportif dan psikologis yang tepat setelah melahirkan dapat mengurangi kesempatan seorang wanita terkena depresi postpartum. Intervensi yang menurunkan perasaan terisolasi, dan memberikan dukungan emosional adalah kunci termasuk kunjungan rumah, telepon rekan sebaya, dan terapi interpersonal.
Ketika diagnosis formal depresi postpartum dibuat, sangat penting untuk memastikan seorang ibu baru mendapat perawatan yang dia butuhkan. Perawatan yang tepat didasarkan pada keparahan gejala wanita dan bagaimana dia merespon intervensi. Bagi wanita postpartum dengan gejala ringan, pendekatan ini sangat mirip dengan strategi pencegahan untuk wanita berisiko, termasuk intervensi psikologis yang membahas dukungan untuk ibu baru, dukungan kelompok, dan kunjungan rumah dari perawat.