Homoseksual alias Gay seringkali dianggap sebagai penderita kelainan atau penyakit yang bisa disembuhkan dengan suatu terapi atau pengobatan. Salah satu terapi yang cukup banyak dibicarakan akhir-akhir ini adalah metode Gay Conversion Therapy yang diklaim dapat “menormalkan” seorang Gay. Tujuan dari terapi ini adalah merubah seorang homoseksual menjadi heteroseksual yang tertarik pada lawan jenisnya. Meski begitu, banyak psikolog yang menolak keberadaan terapi ini karena dianggap melanggar etika, kurang efektif, membahayakan mental, dan berpotensi menyebabkan kematian.
Terapi konversi ini dilakukan dengan cara memberikan konseling dan pengaturan gaya hidup pada pasiennya. Praktek seperti ini sebenarnya sudah pernah dilakukan pada periode Freudian awal (abad 19-an). Ketika itu, homoseksualitas dianggap sebagai suatu gangguan patologis yang memerlukan tindakan pengobatan. Sangat berbeda dengan kenyataan di zaman sekarang, dimana homoseksualitas dianggap bukan sebagai gangguan mental. Bahkan, American Psychiatric Association (APA) telah menghapuskan homoseksualitas dalam daftar gangguan mental. Meski begitu, homoseksual tetap dianggap sebagai suatu hal yang tidak normal di banyak negara, termasuk Indonesia.
Menurut situs LiveScience.com, APA juga sangat tidak merekomendasikan terapi konversi ini karena dapat menimbulkan tekanan pada si homoseksual ini yang bersumber dari masyarakat. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh APA bahkan menunjukkan adanya korelasi antara dilakukannya terapi dengan kejadian depresi pada pasiennya. Hal terburuk yang berpotensi untuk muncul adalah keinginan si Pasien untuk mengakhiri hidupnya melalui jalan bunuh diri akibat semakin tajamnya vonis dan tekanan dari lungkungan sekitar.
Dalam sebuah liputan eksklusif, seorang gay yang menjalani sebuah sesi akhir terapi di Amerika Serikat mengaku telah mengeluarkan uang hingga lebih dari US$ 600 (setara Rp 8,1 juta). Program terapi tersebut melibatkan staf yang akan membantu mereka untuk melawan orientasi seks sesama jenis.
Hal yang kontroversial selalu menimbulkan pro dan kontra, begitu juga dengan Gay Conversion Therapy dimana telah muncul terapi kebalikannya yang digagas oleh dr. Joseph Nicolosi. Terapi yang diberi nama terapi reparatif ini dikembangkan oleh Joseph di California dengan tetap memantau pertempuran hukum untuk melawan terapi konversi yang kontroversial tersebut. Joseph bahkan sempat menyambangi sebuah konferensi Gay tahunan yang diadakan oleh jaringan kaum gay. Dalam konferensi tersebut salah satunya dihadiri oleh seorang Mantan “ex-gay” yang kembali menjadi gay, John Smid. John Smid mendeklarasikan dirinya untuk kembali menjadi seoran gay dan menikan dengan pasangan gay-nya.