Wanita secara signifikan lebih mungkin untuk bertahan dari serangan jantung jika dokter yang menangani mereka adalah seorang wanita, demikian bunyi penelitian baru-baru ini yang diterbitkan secara online di jurnal PNAS pada 6 Agustus 2018. Temuan ini berasal dari studi dua dekade data pada hampir 582.000 pasien serangan jantung yang dirawat di rumah sakit di seluruh negara bagian Florida, AS antara 1991 hingga 2010.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan gender untuk pasien yang dirawat oleh dokter wanita hanya sekitar 0,2 persen, dengan 11,8 persen pria meninggal, dibandingkan sekitar 12 persen pasien wanita. Tetapi, pengobatan oleh dokter pria menaikkan kesenjangan sebesar 0,7 persen, dengan 12,6 persen pria meninggal dibandingkan dengan 13,3 persen wanita.
Selama rentang waktu studi hampir dua dekade, sekitar 1,3 juta kasus serangan jantung terjadi di antara 20 juta penduduk Florida. Serangan jantung saat ini merupakan penyebab utama kematian di antara pria dan wanita AS di seluruh spektrum ekonomi, dan sekarang terhitung sekitar seperempat dari semua kematian di AS. Dan karena serangan jantung muncul tiba-tiba, pasien jarang dapat memilih dokter mereka ketika memasuki ruang gawat darurat.
Studi itu menemukan dua faktor yang sepertinya ‘melindungi’ pasien dari prognosis yang lebih buruk ketika dirawat oleh dokter pria. Untuk satu, tingkat kelangsungan hidup meningkat di ruang gawat darurat yang memiliki persentase dokter wanita yang lebih tinggi secara keseluruhan, bahkan jika dokter yang hadir adalah pria. Dan, para peneliti juga menemukan bahwa semakin banyak pengalaman seorang dokter pria dalam merawat pasien serangan jantung wanita, hasil perawatan semakin baik.
“Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pasien umumnya berkomunikasi lebih baik dengan pengasuh dari jenis kelamin yang sama,” ujar Brad Greenwood, penulis studi dan juga associate professor of information and decision sciences with the Carlson School of Management at the University of Minnesota-Twin Cities. “Itu bisa berarti bahwa ‘pasien wanita lebih nyaman melakukan advokasi untuk diri mereka sendiri dengan dokter wanita’ atau bahwa ‘dokter pria tidak mendapatkan semua isyarat yang mereka butuhkan untuk membuat diagnosis’ ketika berhadapan dengan pasien wanita.”
Faktor lain yang mungkin, Greenwood menambahkan, adalah pasien serangan jantung wanita memasuki rumah sakit dengan gejala spesifik jender yang lebih mudah dikenali oleh dokter wanita. Bisa juga dokter pria hanya kurang cepat untuk mendiagnosis serangan jantung di kalangan pasien wanita karena mereka menganggap serangan jantung sebagai ‘prototypical male condition’.
Dr. Nieca Goldberg, juru bicara American Heart Association, mencatat bahwa sejumlah faktor mungkin berperan. Untuk satu hal, dokter mungkin tidak menghabiskan waktu untuk menyadari bahwa pria dan wanita mungkin memiliki gejala yang berbeda, dan wanita mungkin memiliki gejala yang lebih halus. Goldberg juga mengatakan, gender memengaruhi gaya komunikasi, dan komunikasi sangat penting dalam mengarah ke diagnosis yang akurat.